"Aku dan Kota Candu"
Ilustrasi : Mediun.com
"Harapan kan selalu ada meskipun berkali-kali
kita dipecundangi oleh harapan, sebab kita hanyalah manusia yang ketagihan dan
tak pernah lelah tuk berharap, layaknya candu."_Inspirasi Kita
Berangkat
dari kata yang indah bagi kaum pecinta masa lalu, sebut aja “Can’t Forget”.
Iya, saya termasuk manusia yang sukar melupakan masa lalu begitu saja.
Bukan hanya perssoalan cinta atau rasa, tapi persoalan kehidupan, baik sejarah,
sosail, ekonomi, de el el. So, semua yang saya alami akan menjadi cacatan
sastra. Hampir separuh hidup saya hanya dihabiskan untuk mengenang masa lalu.
Kalau istilah dalam kaum akademisi, seperti para sejarawan, ‘Politik
Ingatan’. Saya selalu termotivasi untuk merawat ingatan dengan melayangkan
imanijasi sejauh mungkin kebelakang.
Saya mengenal
dunia menulis setelah berjalan lebih jauh dari tempat saya dilahirkan dan
dibesarkan. Kuliah mengajarkan saya untuk merawat ingatan dengan menulis.
Padahal jika dihitung umur saya saat masuk kuliah, cukup mengecewakan. Di umur
18 tahun kurang tujuh bulan, saya menginjak tanah (kota) yang sangat indah.
Kata orang kota itu, kota Pendidikan, selain itu juga, orang-orang mengenal
kota itu dengan istilah kota istimewa. Saya sama sekali tidak tahu kenapa kota
itu bisa dikatakan istimewa! Mungkin karena orangnya, tata kotanya, ataukah
pendidikannya atau mungkin ketiga-tiganya?
Hari itu!
Hari pertama saya mendarat di pulau Jawa. Saya dijemput oleh kakak kelas saya
waktu di Madrasah, dari bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Saya berjalan
keluar dari bandara membawa koper kecil yang isinya baju dan celana aja, beras
sekitar 25 kilogram, dan tas rangsel berisikan buku, pulpen, peralatan mandi,
minyak rambut, parfum, dan makanan ringan.
Kakak kelas
saya sedang duduk asik di tempat parkir, tiba-tiba memanggil saya yang sedang
berjalan membawa koper, tas, dan beras. Mereka mengambil barang bawaan saya
lalu membaw ke motornya. Satu orang boncengan sama saya dan satu lagi membawa
barang-barang saya.
Selama hampir
satu bulan saya nginap di kos mereka, mengenal teman-teman kosnya, ibu kos dan
bahkan tetangga kos yang setiap hari ketemu saat lewat ketika mau ke masjid.
Puluhdadi
nama tempatnya, di tempat itu saya membeli buku pertama berjudul “Agama dan Manusia”
dan “Keadilan Ilahi” karya Murthadhah Muthahari. Kemudian di hari-hari
selanjutnya saya pesan seperti “Fiqih Tradisional” karya ustadz Abdul Muhyidin.
Ada yang paling menyesalkan saat saya membeli buku di Gramedia, saat berjalan
mengelilingi rak-rak buku dengan berbagai judul, mata saya terbinar-binar,
seketika membayangkan kondisi daerah saya yang kurang dan minimnya toko-toko
buku. Saya membeli empat buah buku tanpa mengecek harga yang tertulis bagian kiri bawa buku. Saya membawa empat buah buku itu ke kasir, karena waktu telah sore dan
saatnya untuk kembali ke kos. Saya terkejut dan terheran-heran melihat harga
bukunya, karena beberapa buku yang saya beli sebelumnya hanya dengan harga
terjangkau. Atas kejadian itu, saya baru tahu kalau buku yang saya beli pertama
adalah reproduksi, sementara di Gramedia buku-bukunya orisinal.
Kota
Yogyakarta! Membuat saya menari-nari di atas kata ‘Candu’. Saya merasa
candu dengan segala kenyamanan dan keistimewaan kota Yogyakarta, seperti
orang-orang yang memakai narkoba. Seperti apakah candu yang di maksud? Silahkan
jelajahi kotanya.
Lagi-lagi goyangan tangan saya di atas tombol komputer membelok, sebenarnya saya tak pernah membayangkan untuk
menulis ini, saya hanya ingin meriview tulisan saat mula-mula jadi Mahasiswa
Baru. Itulah menulis tak harus engkau nunggu waktu yang tepat, walaupun hampir semua tulisan sudah kita rencanakan, kadang seketika kita ingin menulis, maka tulislah. Saya terinspirasi dengan Puthut Ea. Ada satu buku yang beliau tulis, tak pernah beliau direnacakan, yaitu bukunya "Hidup ini Brengsek, dan Aku dipaksa Menikmatinya". Buku itu beliau saat pulang ke Jogja seusai acara di luar kota.
Yogyakarta, 16 February 2020
Komentar
Posting Komentar