"Gadis Penggoyang Pena"
Foto : Timdiksi 2019, Unram.
"Hobi, Marangkai dan Menggoyangkan Pena di atas Kertas Putih"_ Katanya
"Memang kuliah tak seindah SMA", Pikiranku telah mengagungkan masa laluku yang kini menjadi kenangan yang indah dan menarik untuk dibaca lagi.
Sore itu mendung, aku beranjak dari tempat duduk mengambil baju kemaja warna merah maroon campur hitam, aku memakianya sambil melihat di depan cermin. Aku keluar menuju selajar masjid untuk memakai sapatu yang pentofel yang aku beli di Bima dekat lapangan Serasuba. Dengan motor masjid merk Tornado aku berangkat menuju kampus untuk menyelesaikan semua urusan lomba, karena besok sore aku harus terbang ke lombok.
"Assalamu'alaikum" ucap aku sambil mengetuk pintu kepala bagian kemahasiswaan.
Di dalam itu, ada pembina bidikmisi, beliau yang menyuruh aku untuk datang ke tempat itu.
"Waalaikumussalam" Jawab mereka berdua.
Aku masuk dalam ruangan itu, pak pembina bidikmisi keluar. Aku sebut aja beliau dengan pak Pembina bidikmisi.
Bapaknya mempersilahkan aku duduk dan menanyakan apa maksud dan tujuan aku menemui beliau.
"Gimana nak, ada perlu dibacarakan?" tanya bapak itu soalah tidak tahu permasalahan yang sedang aku perjuangankan
Aku Jelasin panjang lebar terkait dengan dana yang kami gunakan untuk pesan tiket. Pertemuan itu sedikit alot, emosiku sedikit memuncak membuat suasana agak keruh seperti banjir yang melanda Jakarta beberapa bulan yang lalu.
"Saya mempertanyaankan, apakah maksud keadilan? menurut bapak, sehingga proposal kami di acc cuman sedikit, apakah keadilan itu bicara soalnya sama rata atau porsi? tanya aku dengan mosi tidak percaya pada birokrasi dan sedikit menggoyangkan meja, seolah seperti konferensi meja bundar
Setelah berjuang di kampus, saya bersama tim lomba pada ajang 'Temu Ilmiah Mahasisswa Bidikmisi' yang di adakan oleh Forum Mahasiswa Bidikmisi Universitas Mataram, pesan tiket keberangkatan untuk mengikuti presentasi Lomba Karya Tulis Ilmiah, setelah mengikuti serangkaian tahapan penyeleksian paper-nya.
Sore itu mendung, aku beranjak dari tempat duduk mengambil baju kemaja warna merah maroon campur hitam, aku memakianya sambil melihat di depan cermin. Aku keluar menuju selajar masjid untuk memakai sapatu yang pentofel yang aku beli di Bima dekat lapangan Serasuba. Dengan motor masjid merk Tornado aku berangkat menuju kampus untuk menyelesaikan semua urusan lomba, karena besok sore aku harus terbang ke lombok.
"Assalamu'alaikum" ucap aku sambil mengetuk pintu kepala bagian kemahasiswaan.
Di dalam itu, ada pembina bidikmisi, beliau yang menyuruh aku untuk datang ke tempat itu.
"Waalaikumussalam" Jawab mereka berdua.
Aku masuk dalam ruangan itu, pak pembina bidikmisi keluar. Aku sebut aja beliau dengan pak Pembina bidikmisi.
Bapaknya mempersilahkan aku duduk dan menanyakan apa maksud dan tujuan aku menemui beliau.
"Gimana nak, ada perlu dibacarakan?" tanya bapak itu soalah tidak tahu permasalahan yang sedang aku perjuangankan
Aku Jelasin panjang lebar terkait dengan dana yang kami gunakan untuk pesan tiket. Pertemuan itu sedikit alot, emosiku sedikit memuncak membuat suasana agak keruh seperti banjir yang melanda Jakarta beberapa bulan yang lalu.
"Saya mempertanyaankan, apakah maksud keadilan? menurut bapak, sehingga proposal kami di acc cuman sedikit, apakah keadilan itu bicara soalnya sama rata atau porsi? tanya aku dengan mosi tidak percaya pada birokrasi dan sedikit menggoyangkan meja, seolah seperti konferensi meja bundar
Setelah berjuang di kampus, saya bersama tim lomba pada ajang 'Temu Ilmiah Mahasisswa Bidikmisi' yang di adakan oleh Forum Mahasiswa Bidikmisi Universitas Mataram, pesan tiket keberangkatan untuk mengikuti presentasi Lomba Karya Tulis Ilmiah, setelah mengikuti serangkaian tahapan penyeleksian paper-nya.
Sore itu, kami berangkat ke Bandara Adi Sucipto Yogyakarta dengan menggunakan grab. selama berjalanan menuju bandara kami bercerita banyak hal sambil merilik kearah pintu mobil, melihat indahnya gedung-gedung, para pejuang tangguh, seperti ojek online, tukang becak, penjual koran, dan penjual roti di pinggir jalan, bangunan rumah dengan cat biru menyerupai langit ditambah dengan hitam di dasarnya, mobil merah melintasi dengan kecepatan di atas rata-rata. melihat semua itu sejenak membuat sastra di hatiku membisik seolah tak percaya dengan semua yang baru saja aku lihat.
"Apakah ini yang namanya perduniawian"? bisikan hatiku yang seolah-olah tak percaya melihat kemegahan kota yogyakarta. Aih, sungguh menyebalkan diriku, kok malah mikir gitu sih.
Setiba di bandara kami membuka pintu mobil dan meminta sopir untuk keluarkan barang-barang bawaan kami di bagasi mobil sambil menghitung uang iuran untuk mebayar angkos Grab-Card, lima belas ribu perorang, aku dan hafidz kasih uang ke imam untuk membayarnya.
Bandara itu sungguh ramai sekali, germelap cahaya : ada yang warna merah, hijau, oranye, putih. bapak-bapak tukang ojek sedang bercerita sambil menghisab asap rokok di pangkalan ojek. Ada ibu bersama anaknya sambil berjalan membawa tas besar, serta banyak lagi aktivitas manusia di bandara, yang seoalah-olah seperti barang pasaran para kaum kapitalis.
Hari sudah mulai gelap, orang-orang mondar-mandir, sibuk main hp, kami bertiga masuk untuk melakukan chek in. Perempuan cantik dan anggun sibuk melayani orang-orang dengan ramah. Segala kebutuhan sudah kami atur, kami tidak mau keluarkan uang untuk membayar bagasi pesawat.
Setelah Chek in, kami bertiga masuk ke ruang tunggu. Menikmati berbagai fasilitas yang ada, baterai hp perlu di cas, aku keluarkan charger hitam merk samsung, kusambungkan pada colokan yang ada di depanku. Setiap kali ada moment kita perlu mendokumentasikannya, aku meminta hafizh untuk mengambil gambarnya, aku mengenakan baju hem kotak-kotak dengan kancing terbuka, rambu dengan potongan baru ala artis, aku keluarkan senyumku yang paling manis. Creet, Crett, suara kamera saat Hafizh mengambil gambarnya.
Kemudian aku pergi mencari toilet, mau membasu muka dan melihat mushala untuk shalat magrib. Tapi panggilan untuk naik pesawat mengurungkan niatku untuk shalat maghrib di Bandara. Ya, Jamak aja di Lombok.
Terdengar riang suara anak kecil, "Horee, naik pesawat". Sungguh bahagianya hidup adek kecil itu, seumuran dia aku belum pernah naik pesawat, hanya kagum saja, setiap kali dengar suara pesawat aku pasti keluar dan melihat pesawat di langit "Pesawat, Minta uang". Permintaan itu tidak pernah dipenuhi oleh pesawat sampai saat ini. Dulu aku berpikir, pesawat pasti mendengarkan permintaan itu. Tapi kelau dengar kenapa sampai sekarang belum dikasih?
Antrian panjang pengecekkan tiket oleh perempuan cantik berbaju hitam, jika dipandang ia begitu indah dan anggun, seperti bidadari dari kayangan. Sayangnya ia tidak punya selendang, kalau ada aku pasti akan mengambilnya dia-diam seperti yang dilakukan oleh Jaka Tarub pada salah seorang bidadari, tapi sayang, tidak ada. Cerita itu hanya ada di dunia dongeng.
Tibalah saatnya giliran kami, gaya hafizh seperti Hotman paris, ia kenakan baju hitam campur titik pitu kecil, kacamata hitam berkilau membuat para janda jatuh hati padanya. Kami keluar meninggalkan ruang tunggu yang penuh dengan ac. Munghirup udara segar sambil berjalan menuju pesawat.
"Loin Air" tulisan besar yang ada di pesawat warnah putih campur merah itu. Nama yang tidak asing bagiku, sebab ini bukan pertama kali aku naik pesawat yang bernama "Loin Air". Kami tidak sempat mengambil gambar di situ, sebab gelap menutupi segala keindahannya.
Langit begitu terang, bulan separuh tetap bersinar dan selalu ditemani oleh kawan setianya bintang, bantingan sepatu ditangga pesawat menciptakan nada yang tidak beraturan, sungguh tidak enak didengar. Kami naik dengan pelan-pelan, berhenti di tengah tangga sambil menunggu orang-orang selelai periksa tiket masuk mencari teman duduknya.
"Sungguh inilah bidadari sebenarnya". Kagumku dalam hati, aku tak tahu setan mana lagi yang menggoda imanmu, penampilan pramugari berbaju merah itu membuatku geleng-geleng kepala, sambil membayangkan sesuatu. Astagfirullah, ucapku dalam hati sambil mengelus dada. Aku teringat Allah. "Kullilmu'miniina yaghudhdhuu min abshaa rihim wa yahfadzuu furuujahum, dzaalika azkaalahum" (Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pendangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci baginya).
"Terimakasih, silakan" ucapa pramugari dengan suara yang lembut nan menggoda. Sambutan senyumnya membuat mata terbinar-binar.
Aku aku masuk kedalam pesawat, mencari seat yang sesuai dengan tiket.
Aku duduk dengan tenang setelah tas bawaan telah simpan di atas kabit pesawat. Kabit itu penuh dengan tas, ada tas warna merah campur hitam, putih, ijo, dan banyak lagi tas yang ada pada kabit pesawat tersebut.
Aku hanya duduk dengan tas yang berisi buku, pulpen, dan laptop. Aku keluarkan buku kumpulan cerpen dari Prof Kuntowijoya sebagai teman yang akan temanin aku selama di pesawat, tapi karena lampunnya tidak terlalu terang, aku hanya peluk buku kempulan cerpen itu.
Pesawat bentar lagi akan take off, pramugari cantik nan anggun memulai memeragakan cara mengenakan sabuk pengaman dan mereka juga bersedia membantu kita apabila kita kesulitan. Sabuk pengaman boleh dilepaskan ketika lampu tanda pengaman kenakan sabuk pengaman telah dimatikan. Dan Peragakan penarikan dalam kenakan masker oksigen serta diperagakan cara menggunakan baju Pelampung.
Aku kadang mendangarkan dan memandang pramugari yang cantik nan anggun itu, tapi kadang nunduk juga. Sebenarnya sayang juga kalau tidak mendengarkan suara yang ramah dan lembut.
Pesawat sudah mulai take off, para penumpang ada yang membaca doa, ada yang megang hp untuk mengambil foto dipermukaan yang begitu indah ketika kita melihat kebawa, ada juga yang makan dan minum.
Kelap-kelip lampu dari berbagai rumah dari Bumi manusia. Aku sangat menikmati perjalan malam itu, melihat segala keindahan dengan perspektif langit. Kota yang kita lihat masih banyak sampah yang berserakan, berbagai para pelaku maksiat, dan dengan segala keburukan yang disuguhkan oleh bumi manusia, seketika berubah menjadi sebuah surga dunia penuh dengan keindahan.
Begitulah indahnya bumi sebagai lorong peradaban.
Guncangan pesawat pertanda turbulensi, pesawat sedang berada di atas awan. Aku tengok keluar kearah jendela melihat apakah bumi masih bisa lihat, seolah aku sedang berada diistana kayangan yang didampingi oleh bidadari.
Pesawat sebentarkan lagi akan landing, pramugari kembali mengingatkan para penumpang untuk mengenakan sabuk pengaman, karena ketika landing guncangan pesawat akan dahsyat. Jadi teringat teman aku saat terbang ke Padang beberapa bulan yang lalu, dia sangat takut saat pesawat landing, dia kadang berteriak.
Hari sudah mulai gelap, orang-orang mondar-mandir, sibuk main hp, kami bertiga masuk untuk melakukan chek in. Perempuan cantik dan anggun sibuk melayani orang-orang dengan ramah. Segala kebutuhan sudah kami atur, kami tidak mau keluarkan uang untuk membayar bagasi pesawat.
Setelah Chek in, kami bertiga masuk ke ruang tunggu. Menikmati berbagai fasilitas yang ada, baterai hp perlu di cas, aku keluarkan charger hitam merk samsung, kusambungkan pada colokan yang ada di depanku. Setiap kali ada moment kita perlu mendokumentasikannya, aku meminta hafizh untuk mengambil gambarnya, aku mengenakan baju hem kotak-kotak dengan kancing terbuka, rambu dengan potongan baru ala artis, aku keluarkan senyumku yang paling manis. Creet, Crett, suara kamera saat Hafizh mengambil gambarnya.
Kemudian aku pergi mencari toilet, mau membasu muka dan melihat mushala untuk shalat magrib. Tapi panggilan untuk naik pesawat mengurungkan niatku untuk shalat maghrib di Bandara. Ya, Jamak aja di Lombok.
Terdengar riang suara anak kecil, "Horee, naik pesawat". Sungguh bahagianya hidup adek kecil itu, seumuran dia aku belum pernah naik pesawat, hanya kagum saja, setiap kali dengar suara pesawat aku pasti keluar dan melihat pesawat di langit "Pesawat, Minta uang". Permintaan itu tidak pernah dipenuhi oleh pesawat sampai saat ini. Dulu aku berpikir, pesawat pasti mendengarkan permintaan itu. Tapi kelau dengar kenapa sampai sekarang belum dikasih?
Antrian panjang pengecekkan tiket oleh perempuan cantik berbaju hitam, jika dipandang ia begitu indah dan anggun, seperti bidadari dari kayangan. Sayangnya ia tidak punya selendang, kalau ada aku pasti akan mengambilnya dia-diam seperti yang dilakukan oleh Jaka Tarub pada salah seorang bidadari, tapi sayang, tidak ada. Cerita itu hanya ada di dunia dongeng.
Tibalah saatnya giliran kami, gaya hafizh seperti Hotman paris, ia kenakan baju hitam campur titik pitu kecil, kacamata hitam berkilau membuat para janda jatuh hati padanya. Kami keluar meninggalkan ruang tunggu yang penuh dengan ac. Munghirup udara segar sambil berjalan menuju pesawat.
"Loin Air" tulisan besar yang ada di pesawat warnah putih campur merah itu. Nama yang tidak asing bagiku, sebab ini bukan pertama kali aku naik pesawat yang bernama "Loin Air". Kami tidak sempat mengambil gambar di situ, sebab gelap menutupi segala keindahannya.
Langit begitu terang, bulan separuh tetap bersinar dan selalu ditemani oleh kawan setianya bintang, bantingan sepatu ditangga pesawat menciptakan nada yang tidak beraturan, sungguh tidak enak didengar. Kami naik dengan pelan-pelan, berhenti di tengah tangga sambil menunggu orang-orang selelai periksa tiket masuk mencari teman duduknya.
"Sungguh inilah bidadari sebenarnya". Kagumku dalam hati, aku tak tahu setan mana lagi yang menggoda imanmu, penampilan pramugari berbaju merah itu membuatku geleng-geleng kepala, sambil membayangkan sesuatu. Astagfirullah, ucapku dalam hati sambil mengelus dada. Aku teringat Allah. "Kullilmu'miniina yaghudhdhuu min abshaa rihim wa yahfadzuu furuujahum, dzaalika azkaalahum" (Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pendangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci baginya).
"Terimakasih, silakan" ucapa pramugari dengan suara yang lembut nan menggoda. Sambutan senyumnya membuat mata terbinar-binar.
Aku aku masuk kedalam pesawat, mencari seat yang sesuai dengan tiket.
Aku duduk dengan tenang setelah tas bawaan telah simpan di atas kabit pesawat. Kabit itu penuh dengan tas, ada tas warna merah campur hitam, putih, ijo, dan banyak lagi tas yang ada pada kabit pesawat tersebut.
Aku hanya duduk dengan tas yang berisi buku, pulpen, dan laptop. Aku keluarkan buku kumpulan cerpen dari Prof Kuntowijoya sebagai teman yang akan temanin aku selama di pesawat, tapi karena lampunnya tidak terlalu terang, aku hanya peluk buku kempulan cerpen itu.
Pesawat bentar lagi akan take off, pramugari cantik nan anggun memulai memeragakan cara mengenakan sabuk pengaman dan mereka juga bersedia membantu kita apabila kita kesulitan. Sabuk pengaman boleh dilepaskan ketika lampu tanda pengaman kenakan sabuk pengaman telah dimatikan. Dan Peragakan penarikan dalam kenakan masker oksigen serta diperagakan cara menggunakan baju Pelampung.
Aku kadang mendangarkan dan memandang pramugari yang cantik nan anggun itu, tapi kadang nunduk juga. Sebenarnya sayang juga kalau tidak mendengarkan suara yang ramah dan lembut.
Pesawat sudah mulai take off, para penumpang ada yang membaca doa, ada yang megang hp untuk mengambil foto dipermukaan yang begitu indah ketika kita melihat kebawa, ada juga yang makan dan minum.
Kelap-kelip lampu dari berbagai rumah dari Bumi manusia. Aku sangat menikmati perjalan malam itu, melihat segala keindahan dengan perspektif langit. Kota yang kita lihat masih banyak sampah yang berserakan, berbagai para pelaku maksiat, dan dengan segala keburukan yang disuguhkan oleh bumi manusia, seketika berubah menjadi sebuah surga dunia penuh dengan keindahan.
Begitulah indahnya bumi sebagai lorong peradaban.
Guncangan pesawat pertanda turbulensi, pesawat sedang berada di atas awan. Aku tengok keluar kearah jendela melihat apakah bumi masih bisa lihat, seolah aku sedang berada diistana kayangan yang didampingi oleh bidadari.
Pesawat sebentarkan lagi akan landing, pramugari kembali mengingatkan para penumpang untuk mengenakan sabuk pengaman, karena ketika landing guncangan pesawat akan dahsyat. Jadi teringat teman aku saat terbang ke Padang beberapa bulan yang lalu, dia sangat takut saat pesawat landing, dia kadang berteriak.
Komentar
Posting Komentar