Bangku dan Meja Kenangan





“Ada sejuta kenangan yang perlu kita cerita”

Kadang kita perlu mengingat kembali segala rentetan peristiwa yang pernah kita lalui. Bukan saja pada saat kita senang, tapi juga pada saat kita sedih, terjatuh dan tak bisa bangkit lagi.

Tak perlu pula kita tangisi berlebihan tentang kehidupan kita yang jahat. Karena sejahat apapun kisah hidup kita, itu akan tetap menjadi sastra hidup kita yang indah dikenang, menarik tuk dibaca, dan membuat kita tersenyum saat mengingatnya.

Jikalau hidup ini seperti film atau buku, maka pada bagian yang menyedihkan dan tidak aku suka, aku bisa melewatinya, sayangnya hidup ini seperti Diary yang terbuka, apa yang aku rasakan dan apa yang aku jalani, itulah yang terjadi. Menulis kisah yang kita tahu bagaimana akhirnya.  

Itulah kehidupan, kehidupan akan terus berjalan dan terus berjalan. Tugas kita hanya berpandang lurus kedepan tanpa mengabaikan kiri, kanan, dan lebih-lebih kebelakang.

Setiap perjalanan hidup kita selalu ada kenangan. Kenangan-kenangan yang bersejarah dalam hidup perlu kita arsipkan menjadi sebuah cerita. Berharap suatu saat menjadi karya yang bisa baca oleh anak-cucuk dan bahkan orang lain di luaran sana.  

Aku hanya ingin bercerita perjalanku di tanah Lancang Kuning. Banyak hal yang unik di Negeri Lancang Kuning. Unik manusianya, budayanya, kepercayaannya, makanannya, dan bahkan Gedung-gedungnya.

Bangku dan Meja

Riuh manusia di sekeliling masjid Arfa’ Unnas menjadi manik-manik seperti pelangi, ada sedang duduk bercerita di pelataran masjid, duduk di atas motor, ada juga sekelompok perempuan yang sedang berjalan di aspal sambil bercerita, tertawa, melirik kiri-kanan.

Aku pernah duduk disuatu tempat yang indah dekat Masjid Arfa’ Unnas, asyik untuk duduk bercerita sambil melihat aktifitas sekitar, tempat itu Bangku dan Meja. Bangku dan meja itu ada di Universitas Riau, depannya masjid Arfa' Unnas Universitas Riau. Setiap hari terlihat mahasiswa, masyarakat, dan anak-anak yang sedang bermain.

Seorang nenek dan cucuknya sekitar umur 7 tahun ada disekitar masjid. Neneknya kerja sebagai tukang bersih-bersih di kampus, Universitas Riau. Perempuan paruh baya menyapu halaman kampus yang luas, hembusan angin membuat daun-daun kering berjatuhan, berserakan di atas rumput hijau.

“Dek, sini! Nama mu siapa, dek?” tanyaku pada anak kecil itu. Ku menariknya lalu peluk leher lelaki kecil itu.

“Muhammad Al-Hafizh” jawabnya, anak kecil itu masih malu-malu tuk dekat denganku. Mungkin karena aku orang baru?

“Kamu di sini sama siapa, Fizh” tanyaku lagi, penasaran. Hafihz mirip dengan upin dan ipin anak-anak TPA di masjid Al-Faalah, tempat aku ngajar ngaji di Jogja.

“Sama nenek, kak. Itu nenek saya” jawab Hafizh sambil menunjukkan neneknya yang sedang menyapu daun-daun kering di atas rumput hijau.

Aku duduk disamping Hafizh, bercerita tentang si Sabinci Sabae, Nyamuk dan raja, dan banyak lagi cerita lain. Hafizh melanjutkan bermain, sembari menunggu neneknya. Aku juga duduk sama temanku.

****
Sore itu, aku berpisah dengan ketiga temanku. Mereka bertiga bermalam di kosnya Sonia, temanku yang kuliah Universitas Riau. Perempuan penggoyang pena, aku kenal beliau di Lombok.

Duduk sendiri sambil membaca buku “Menguak Kontroversi-Kontraversi Sejarah Indonesia”. Menikmati sepoi angin, melirik pohon yang menjulang menutupi gedung kampus, rumput hijau tempat para mahasiswa duduk santai sambil berduaan, bisa jadi sedang diskusi atau pacarana atau mungkin suami istri? Saya sedang asyik membaca, tiba-tiba datang seorang ibu-ibu bersama anaknya (cowok dan cewek). Kelihatannya ibu itu sholehah, pakainya seperti ustadzah Oki. Mereka bertiga membawa makanan, cilok. Ku angkat kepala lalu melirik dan senyum dikit sama ibu itu. Anak-anaknya sudah duduk disampingku.

"Silakan duduk, Bu". Suruhku seolah orang yang punya bangku dan Meja. Ya, karena aku duluan duduk.

"Oh iya, dek. Terimakasih". Balasnya sambil tersenyum ramah, menunjukkan kuatnya Islam di Riau. "Dari mana dek? Lanjutnya.

"Oh, Saya dari NTB, Bu. Tapi Saya Kuliah di Jogja"

"Terus ada kegiatan apa di sini?" Tanyanya lagi

"Ada acara di FKIP, Bu". Jawabku, kutambahkan lagi "Kita perwakilan dari UNY"

Anak-anaknya sedang makan cilok, sambalnya cokelat memerah. Ada yang daging, ada pula yang tahu. Aku di kasih, tapi nolak. Ibunya tetap kasih, ya aku ambil mumpung gratis, biar lebih asyik duduknya. Ku bertemu dengan hamba-Mu yang muliah Tuhan.

Seorang bapak-bapak berdiri di depanku, berjenggot seperti seperti ustadz. Ya, memang terlihat dari cerahnya wajah ditambah jenggotnya. Beliau, suami dari ibu yang mulia hatinya dan ayah dari anak-anaknya.

"Pah, itu mahasiswa dari Jogja" seru ibu pada suaminya. Pasti pertanyaan yang akan dilontarkan sama dan aku pun akan menjawab dengan jawaban yang sama.

"Oh, ada acara apa di sini, dek". Tanya beliau dengan suara sedikit ngebas.

"Olimpiade di FKIP, Pak" jawabku dan membalas senyumnya.

Kami bercerita banyak hal sore itu. Di belakang kami ada lapangan bola, seorang pelatih yang melatih anak-anak berteriak, tangannya yang mengarahkan anak-anak itu. Sebelah utara ada dua orang yang sedang bermesraan seperti Anisa dan Anandito.

Keluarga Sholih tadi meninggalkan ku. Kini, seorang diri lagi. Sambil menunggu si Rahmat mengumandangkan Adzan dengan suara indahnya.  Aku menghabiskan waktu ku sore itu di Bangku dan Meja yang terbuat dari kayu di tambah pelitor. Aku tidak tahu, itu terbuat dari kayu apa? Bangku dan meja itu cukup untuk duduk empat orang. Dekat bangku dan meja ada pohon besar seperti pohon hantu dalam film horror.

****
Suara tilawah di masjid sebelum adzan sudah terdengar. Suara tilawah yang mengingatkanku pada kampung halaman. Di Jogja hampir tak terdengar sama sekali. Kecuali dibeberapa tempat saja. Aktifitas sekitar masjid sudah mulai sepi. Ada yang pulang jalan kaki, pake motor, dijemput, dan ada pula yang ke Masjid.

Beberapa menit sebelum adzan, aku bangkit dari duduk, bergegas menuju masjid.

Assalamualaikum, Mat” ku salam sambil mngetuk pintu kamarnya Rahmat. Ingin duduk di dalam kamarnya.

Waalaikumussalam, Bang” Rahmat mebuka pintu kamarnya. Mempersilakan aku masuk
Aku masuk ke dalam, bercerita dengan Rahmat. Tentang kuliah, suasana kampus, sifat dan adat orang Riau, serta banyak hal lagi yang kami cerita.

Jarum jam berada pada pukul 18:07, itu artinya adzan akan di kumandangkan. Rahamt sudah siap-siap untuk adzan.

“Bang, Saya adzan dulu.” Pinta Rahmat, keluar dari kamarnya menuju mimbar.

“Silakan! Mat, nanti saya Nyusul.” Aku juga siap-siap ke tempat wudhu. Tempat wudhu, terlihat banyak keran air, toilet yang bejejer dengan rapi, berwarna hijau agak kusut, mungkin catnya sudah lama?

Panggilan yang indah, suara adzan seorang Qori’ yang terlahir dari keluarga sederhan itu membuat segala aktivitas berhenti sejenak untuk mendengar suaranya yang indah, melagukan pujian, kesaksian, panggilan, dan kemenangan. Ya, Allah.

Malam itu, aku nginap di masjid Arfa’ Unnas. Masjid tempat Rahmat tinggal.

Riau, 30 Februari 2020

"Semoga Allah punya rencana  baik. Singkat memang tapi dikenang dalam Goyangan Pena" 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kereta Cinta belum Sampai

‘Tanah Cita-Cita”

Dialektika Perasaan