"Dalik Masjid Arfa' Unnas UNRI"
Di balik Masjid ARFA' UNNAS UNRI
Sungguh masjid ini sangat bersejarah dalam hidupku.
Siang itu, sholat jum'at di masjid ini. Jumat penutup February 2020.
Sosok pemuda sederhana menghampiri ku, bersarung kotak" dan berbaju abu-abu, serta berkumis yang menunjukkan kedewasaan dari sosok pemuda sederhana itu.
"Dari UNY, ya?" Tanya beliau dengan tersenyum ramah, sambil melirik almamater biruku.
"Iya, bang" jawabku, dengan wajah penuh tanda tanya.
"Kenal Bayu?"
"Kenal, bang. Beliau Presma saya, kebetulan tahun ini, saya staffnya di Kajian Eksternal"
Beliau melanjutkan ceritanya ketemu sama bayu. Tak hanya Bayu yang beliau kenal, tapi kedua presma saya sebelumnya. Ya, beliau kenal Mas Rosyid dan Mas Agung.
"Ketemu sama Mas Bayu di mana, bang?" Tanyaku lagi.
"Oh iya. Kemarin ketemu di Munas BEM-SI, di Lombok, Unram!"
"Oh gitu, Bang. Berarti abang Presma Unri?"
"Iya" jawabnya dengan senyum. "Salam sama Beliau, ya! Dari Bang Saifur Presma UNRI" lanjut beliau
"Insyaa Allah, nanti saya sampaikan, Bang".
Sejumput percakapan formal, terlepas dari canda tawa dari pertemuan yang singkat itu.
Aku pamit, karena teman-teman panitia sudah menunggu di bawah. Sebenarnya aku sudah berniat untuk bertemu dengan Kementrian Sospolnya UNRI. Ingin sharing isu, karena tahun ini, UNRI menjadi Koor Isu Lingkungan di BEM-SI. Namun, waktunya tidak memungkinkan.
Pesertanya ternyata banyak aktivis. Siapa yang menyangka, teman lombaku ada yang mantan Kepala Bidang Sospol di BEM Univ. Andalas, Padang.
Setelah balik ke UNY, aku sampaikan pesan bang Saefur ke Mas Bayu.
Mas Bayu menceritakan juga, kalau bang Saifur di Munas Bem-SI di Lombok menjadi Pimpinan Sidang.
Mas Bayu menceritakan juga, kalau bang Saifur di Munas Bem-SI di Lombok menjadi Pimpinan Sidang.
Di Masjid ini, selain ketemu sama Bang Saifur. Aku juga bertemu dengan dua manusia hebat.
Minggu Siang, Kami sudah chek out dari tempat penginapan. Kami memutuskan tidak langsung pulang minggu itu. Dan kami harus cari tempat penginapan untuk malamnya.
Kalau masalah penginapan, aku sih gak masalah. Aku cowok, kok. Hehehe, tapi bagaimana dengan tiga teman cewek ku? Nah, ini. Kebetulan aku ada kenal teman cewek dari UNRI, teman satu event lomba Di Unram tahun lalu. Namanya Sonia mahasiswa Bidikmisi. Kisahnya membuat pembaca meneteskan air mata tanpa sadar. Aku pernah baca dua karya Inspiratif beliau.
Hari itu, Sonia lumayan sibuk, ada konsolidasi LDK UNRI. Nah, dulu aku bisa kenal dekat sama beliau, karena sama-sama anak LDK. Konsolidainya di Masjid ini juga. Saya dan dua teman cewek saya menghampiri beliau di masjid ini. Menunggunya sampai sore.
Adzan Ashar pertanda waktu sholat telah masuk. Riuh aktivitas berhenti sejenak. Aku pun turun ke lantai bawa untuk mengambil air sembahyang.
Ada kejadian yang tak pernah aku bayangkan. Masjid ini, ada dua jalur, kiri dan kanan. Jalur kiri tempat naik yang akhwat dan kanan tempat naik yang ikhwan. Tapi aku saat itu, turun lewat tangga kiri. Ada dua akhwat yang naik duluan, satu lagi masih berdiri di anak tangga paling atas, tapi tak kelihatan kakinya. Aku kira beliau sedang istirahat. Mungkin capek naik tangga. Ya, aku mikirnya gitu.
"Dek, minggir, menghadap ke barat. Aku gak pake kaos kaki". Ujarnya dengan nada yang kesal dan wajah agak memerah melihat aku yang masih berdiri.
Sama sekali aku tidak bermaksud apa-apa. Aku kaget dengan kakaknya marah. Naik sambil lari. UNRI memang terkenal dengan islamnya. Kenapa aku turun lewat tangga itu? Karena Jumat kemarin aku naik lewat tangga itu.
Seusai sholat baru bisa ketemu sama Sonia. Beliau bercerita tentang kejadian aku tadi. Mungkin beliau lihat. Memang akhwat Unri sangat Islami ("). Aku sedikit malu, mungkin kakak yang tadi kalau ketemu sama aku lagi, marah. Maaf, Aku tidak tahu apa-apa.
Kami berempat pun bertemu. Aku tidak mikir tempat penginapan ku. Yang penting ketiga temanku sudah dapat penginapan. Ya, aku Cowok, kok. Heheh
Sonia, minta aku, nginap di kos akhi Ibnu anak Medan. Lawan debatku di putaran pertama. Beliau ngechat Ibnu. Aku juga ngechat Ibnu. Ibnu menerima sedang senang hati. Namun, beliau tidak bisa jemput sore itu, karena masih ada acara sampai jam 11 malam.
Orang terakhir yang berkesan di masjid ini.
Nama beliau Rahmat. Asli Medan. Beliau Insyaa Allah Hafizh. Takmir masjid ini dan jadi imam juga, di kamar beliau banyak penghargaan Tahfizh.
Di hari sebelumnya aku sempat berkenalan dengan Rahmat dan bang Robi. Mereka berdua peserta juga.
Sholat Dzuhur, ya Sholat Dzuhur. Aku berdiri di shaf sebelah kiri imam. Kuangkat kepala, ku perhatikan pemuda yang jadi Imam, sejenak aku berpikir. Dalam hati berkata "Kayak kenal nih orang".
Selesai Sholat, aku jalan keluar membawa Coper temanku. Rahmat keluar dari Kamarnya. Aku menyapanya, kami kenalan ulang lagi.
"Kamu takmir sini?
"Iya, Bang"
"Aku boleh minta bantuan gak Bang. Aku boleh simpan tas dan koper ku di kamarmu?"
"Boleh, Bang" ujar rahmat dengan ramah.
Aku pun membawa masuk tas dan koperku. Aku melihat isi kamar rahmat, di depan terdapat beberapa piala penghargaan, sandal, sepatu, buku yang tertata dengan rapi. Hampir semua pialanya bertuliskan Juara Tahfizh. Aku penasaran, siapa sebenarnya Rahmat?
"Faton dari UNY" Ku ulurkan tanganku untuk berkenalan dengan temannya Rahmat.
"Saya Adit temannya Rahmat, Saya Asli Aceh".
"Saya asli, NTB"
Aku bercerita sama mereka, perihal aku yang belum pulang ke Jogja. Mereka sangat ramah, sopan, bicara pun lembut.
Setelah tas dan koper kusimpan di kamarnya Rahmat. Aku pamit sama mereka berdua. Kumembawa tas yang berisi laptop, beberapa buku dan pulpen. Aku kembali ke ruang utama Masjid untuk istirahat. Ku keluarkan laptop, berniat untuk menulis. Tapi, rasa capek, kantuk, dan di tambah sepoi angin menyejukkan hati serta kipas angin yang menghiasi masjid, membuatku tak kuasa menahan rasa kantuk. Kumatikan kembali laptopku, kemudian ku masukkan lagi ke dalam tas.
Siang itu aku tidur di Masjid, sambil menunggu Sonia selesai konsolodasi. Ku jadikan tas sebagai bantal. Banyak anak kecil juga di masjid itu. Sholatnya tertib, mereka membuat Shaf sendiri kalau sholat berjamaah. Anak-anak itu juga tidur di Masjid bersamaku. Aku tidur dengan tenang, tidak ada mimpi yang terslip dalam tidurku, mungkin ada tapi tidak layak disimpan jadi kenangan dalam ingatan. Setelah timur pnajng, aku terbangun........] beberapa menit sebelum adzan Ashar.
Seusai Sholat Ashar, aku main ke Kamar Rahmat. Mulailah aku cari tahu sosok beliau. Mulai dari latar belakang sekolah, keluarga, kuliah, merantau, tinggal di masjid, organisasi, prestasi dan lain sebagainya. Sampai pada titik di mana aku bertanya tentang sosok manusia hebat yang ada dalam hidup Rahmat. Mataku berkaca-kaca mendengar ceritanya. Aku menyesal menanyakan hal itu.
Saat beliau cerita tentang keluarganya. Seketika hadir sosok teman yang mengganggu pikiranku. Aku membayangkannya. Ya, wajah Yusrin hadir dalam ingatanku. Aku berusaha menahan air mata.
Aku tidak akan bercerita apa yang diceritakan oleh Rahmat di sini. Insyaa Allah, kalau tiba waktunya.
Aku istirahat di masjid ini sampai malam. Ya, menunggu Ibnu menjemputku. Rahmat sebelum Isya' pergi belajar tahsin. Dan teman-teman Takmir yang lain juga keluar setelah Sholat Isya.
Pukul 20-an, Masjid Sudah sepi. Tak ada seorang pun di Masjid itu, kecuali aku seorang diri. Disebelah selatan Masjid ada pohon-pohon besar layaknya belantara yang menutupi segala gemerlap gedung-gedung dibelakang pohon. Sebelah utara banyak juga pohon, suara burung berkicau, dua kucing berlari keluar di depan tangga, kucing itu diam di depan tangga, gerak-geriknya seolah sedang melihat makhluk halus. Sebut aja hantu. Kipas angin semuanya berhenti sendiri, aku gak tahu, mungkin sebelumnya udah dimatikan dan baru berhenti berputar. Rasa takut menghampiri ku.
Malam itu, aku sedang menulis beberapa pertemuan ku dengan Rahmat. Tapi rasa takut itu membuat berhenti menulis, aku melirik keluar, kedua kucing hitam dan oranye itu masih pada posisi yang sama. Mencurigakan. Samping kiri-kanan Masjid Gelap-gulita.
Aku pindah tempat duduk, semula di tengah masjid lalu berpindah di pojok kanan masjid. Berharap tidak yang melihatku. Tapi rasa takut itu selalu menghantuiku. Aku membuka tas, mengambil Mushaf kecil dan ku baca untuk melawan rasa takut.
Rahmat belumcdatang, hp-ku masih nyala, tapi tidak bisa buat menghubungi teman-teman ku, karena rusak mikrofon dan tempat penyimpangan kartunya. Hanya ada satu yang bisa membuat Hape ku berfungsi untuk menghubungi teman-teman ku. Yaitu, Wifi.
Suara burung, dua kucing, gelap, hening, dan pohon yang menjulang menutupi gemerlap. Aku sangat takut, sumpah.
Sekitar pukul 21 malam, terdengar suara langkah di lantai bawah, suara itu semakin dekat. Aku pun semakin takut. Di tangga Ikhwan muncul sosok laki-laki, eh ternyata itu Rahmat. Huuss, senang, senang sekali.
"Maaf, bang" kata Rahmat yang baru datang dari belajar tahsin.
"Gak papa mat, santai aja". Hehehe
Cepat-cepat aku mendatangi Rahmat.
"Mat, minta bantuan dong, Wifi Masjid ini apa, ya?" Tanyaku setelah lama menunggu kedatangannya.
Rahmat pun memasukan passwordnya.
"Aku menunggu Ibnu datang, sampai sekarang beliau belum datang"
"Oh iya bang. Istirahat aja di sini dulu."
"Terimakasih, Mat"
Rahmat bergegas masuk ke kamarnya.
Aku ambil charger di tas buat ngecas tambah baterai hape-ku. Ku buka WA, berapa kali telpon dari teman-temanku termasuk Ibnu. Beberapa menit setelah Rahmat datang, Ibnu pun datang.
Aku ambil charger di tas buat ngecas tambah baterai hape-ku. Ku buka WA, berapa kali telpon dari teman-temanku termasuk Ibnu. Beberapa menit setelah Rahmat datang, Ibnu pun datang.
"Kamu di mana?" chat masuk dari Ibnu.
"Aku di Lantai dua"
Ibnu pun naik ke lantai dua.
"Sorry, baru kelaar acara ku". Ujar Ibnu merasa tidak enak lama menjemputku.
"Ok, gapapa santai aja. Udah biasa nunggu" hehehe.
"Mana Rahmat?" tanya Ibnu sambil melihat kiri-kanan
"Rahmat di kamarnya".
Aku dan Ibnu bergegas menuju kamarnya Rahmat, mau pamit dan berterimakasih yang sebesar-besarnya atas bantuannya ini. Ini akan kukenang dan menjadi sastra yang indah dalam hidupku.
"Tok, tok, tok, Rahmat" Kuketuk pinta kamarnya Rahmat. Rahmat membuka pintunya.
"Mat, terimakasih atas bantuanmu, maaf dah repoatin, semoga sukses dan kita bisa bertemu lagi"
"Aamiin, Sama-sama bang. Maafkan juga bang".
"Gak papa, santai aja, Mat" Pinta ku. "Aku pamit dulu, Mat, salam buat bang Robi. Terimakasih banyak. Assalamu'alaikum" Ucap ku sambil membawa koper dan tas.
"Hati-hati Bang, Waalaikumussalam"
Aku dan Ibnu pun berangkat. Gelap memang, seperti jalan di tengah hutan. Kampung yang dikelilingi oleh hutan. Di kampus ada monyet, dan bahkan babi. Ya, UNRI termasuk kampus terluas ke-2 di Indonesia setelah UNSRI.
Malam itu, aku nginap di kosnya Ibnu, sosok yang periang, ramah, membuat orang lain senang berteman dengannya.
"Terimakasih Riau atas segala seguhanmu"
Barangkali ada hikmah dibalik perjalanan ini. "Skenario Tahun yang Indah. Mari kita kejar mimpi kita tanpa harus menjatuhkan orang lain"
Memori 28 Februari- 01 Maret 2020.
Komentar
Posting Komentar